Lesson 2 : Kematian Itu Kayak Lagi Makan Sahur Tapi Tiba-Tiba Udah Azan Aja

Yo, kembali lagi di catatan perkuliahanku. Jujur saja aku juga bingung harus menuliskan apa di blog pribadi ini. Pada awalnya aku pikir ini bisa jadi sarana bagiku untuk menuliskan catatan-catatan revisi skripsiku yang belum terlihat sama sekali hilalnya karena dosennya hilang-hilangan. Tapi pada kenyataannya dalam dua halaman ini isinya cuman curahan hati seorang Stella Kovalskia, eh Atmajaya maksudku hahaha.

Jujur saja minggu ini boring banget, karena sudah memasuki bulan ramadan kebanyakan kelas jadi pada libur semua. Sebenarnya tidak ada yang salah di sini, karena aku kebanyakan dapat jadwal siang hari dan kalian tahu sendirilah seberapa bikin magernya kuliah di siang hari bulan ramadan. Huuumm, jadi setelah kupikir-pikir, daripada catatan ini kosong melompong aku ingin ngebahas sesuatu yang menjadi beban pikiranku beberapa waktu ini yaitu kematian. Jujur, aku orang yang sangat takut dengan kematian, terkadang aku bertanya-tanya kenapa harus ada kematian, juga di beberapa kesempatan aku terkadang menangis saat mengingat beberapa temanku yang sudah berpulang mendahuluiku di usia yang sangat muda.

Aku bertanya apakah itu adil bagi mereka yang meninggal di usia muda seperti itu? Di saat mungkin sebagian dari mereka masih mempunyai impian dan harapan di dunia ini yang mungkin akhirnya tidak akan pernah terwujud karena kematian menjemput lebih dulu. Aku meyakini hampir semua manusia mempunyai impian, karena itu memang hal yang manusiawi apapun bentuk impian itu, entah punya rumah, punya suami atau istri, meraih penghargaan atau cuman sekadar makan enak setiap hari, itu semua adalah impian. Walau begitu pada akhirnya aku selalu meyakini bahwa semua yang terjadi di dunia ini yang terbaik untuk kita semua terlepas itu menyenangkan atau menyakitkan. Namun, aku masih merasa penasaran apa yang dipikirkan oleh teman-temanku dahulu di saat terakhirnya?

Ada satu kata bijak dari salah satu tokoh anime favoritku (dibaca : husbu), Sakata Gintoki. Dia berkata, "Dari pada memikirkan cara mati yang indah, kenapa tidak mencoba untuk menjalani hidup dengan indah sampai akhir?". Kata bijak ini sedikit menguatkanku dari rasa takut akan kematian dan juga menginspirasiku untuk terus hidup dengan indah dan baik hingga akhir. Walaupun memang takdir kadang menyakitkan aku yakin selalu ada sesuatu di baliknya. Aku memutuskan untuk meninggalkan bisa meninggalkan bekas baik, tidak harus kebanyak orang, ke orang-orang terdekat pun sudah cukup bagiku.

Aku berpikir kematian menjadi sosok menakutkan mungkin karena kita belum mencapai apa yang kita impikan, analogi simpelnya mungkin kayak lagi makan sahur tapi waktu di tengah makan udah azan subuh aja, nanggung! dan manusia paling gak suka atau gatelan sama yang namanya nanggung, kan?

Sebagai penutup catatan hari kali ini, aku pikir gak ada salahnya aku menceritakan obrolan jam tiga pagi mengenai kematian dengan salah satu sahabatku, Septa Triwulandari. Waktu itu kami ngobrolin soal apakah istilah "kematian menjemput" itu sudah tepat atau belum, karena menurut pemikiranku bukan kematian yang menjemput kita, tapi kita yang mendatanginya. Kematian menurutku cuman duduk anteng di ujung garis kehidupan kayak amang-amang ojek. Tapi pemikiranku segera ditimpali oleh Septa kalau sekarang kan udah ojek online yang ngejemput sampai depan rumah, berarti kematian bisa menjemput juga dong. Dan akhirnya kami malah berdebat ngawur apakah nanti pekerjaan ojek bakal ada saat manusia sudah bisa ekspansi ke luar angkasa.


19/03/2024

Comments

Yang Lagi Rame