[Busaku] Review Empedu Tanah


Assalamu'alaikum yo minna-san, konnichiwa~ bulan ini kayaknya blog aku bakal full mengulas buku-buku ya wkwkwk? Yah maklumlah pertama kalinya punya resolusi, jadi lagi full semangat-semangatnya (setelah sekian tahun cuman pengen lebih baik dari tahun sebelumnya tapi nggak ada aksi samsek wkwk). Buat kalian yang bertanya apa resolusiku? simpel aja sih, resolusiku tahun ini adalah membaca 100 buku, apapun bukunya entah itu buku puisi, novel, non fiksi dan lain sebagainya, yang penting buku (buku/modul perkuliahan tidak termasuk ya wkwkwkwk). Udahlah ya basa-basinya, langsung aja kita ngebahas buku yang kemarin baru selesai aku baca ehehe, cekidot wkwk.

Judul: Empedu Tanah
Penulis: Inggit Putra Marga
Penerjemah: -
Penerbit: Gramedia Pustaka Utama
Tebal: 61 Halaman
Tahun Terbit: 2019


Tamu Tak Bermalu

Meski selembut gerak asap rokok
atau sekeras palu kuli bangunan menghancurkan tembok
Upaya mengusirnya serupa hasrat mengubah batang kelapa jadi tongkat musa
Tamu tak diundang dan tak bermalu ini akan pergi, hanya bila kita tak lagi berdenyut nadi

2016

Pahit, semua puisi di buku puisi ini bernuansa pahit. Saat membaca halaman pertama dari buku ini aku bisa merasakan aroma-aroma kekelaman yang tersurat di dalamnya. Amarah, sedih, dendam, penyesalan dan rasa takut menjadi satu dalam secangkir buku yang indah. Namun, penuh rasa rapuh. Diksi yang dituliskan benar-benar tepat pada sasaran, kata-kata yang digunakan pun mudah dipahami. Namun, penuh makna ganda yang membuatku harus membaca dua-tiga kali hanya untuk memaknai sebuah puisi (menurut pemahamanku, karena pemaknaan puisi untuk masing-masing orang berbeda-beda). Setiap kali aku mengulang membaca semakin menumpuk kepahitan puisinya di hatiku. Semakin kuulang, semakin itu pula aku merasakan amarah yang membuncah, sedih yang meruah, dendam yang tak terbantah dan penyesalan yang menjalar kemana-mana. Sejauh ini buku ini merupakan buku puisi yang paling membuatku berlama-lama untuk membacanya dan paling membuat emosi bergejolak. Mendengar penulis berkata ia butuh kurang lebih delapan tahun untuk menyelesaikan buku ini, kurasa hal wajar buku ini bisa sebagus ini, bahkan memenangkan penghargaan Kusala Sastra Khatulistiwa kategori puisi pada tahun 2020. 

Si paling punya resolusi wkwkwk


Penilaianku terhadap buku ini 9/10, aku sangat menyarankan bagi kalian yang menyukai puisi untuk membaca buku ini, terutama yang aktif dalam menulis puisi. Saat membaca buku ini kalian akan dibawa berkelana dan masuk ke dalam rasa-rasa pahit yang akan mengetuk pintu batin kalian. Puisi-puisi yang kusuka dari buku ini di antaranya adalah “Buronan”,  “Api Di Setumpuk Arang” , “Rencana Sang Pelacur”,  “Ujung Tunggu”,   “Lemari Penjahit”, “Tamu Tak Bermalu” dan  “Kado Istimewa”. 

Tulisan ini bersifat opini pribadi, bisa benar, bisa salah. Tulisan ini dibuat atas dasar kesukaanku dalam membaca buku. Kalau kalian ingin melihat rujukan lain mengenai penilaian ini, kalian bisa mengunjungi Goodreads (kalau mau temenan di sana denganku juga boleh wkwk). Jika ada kata-kata kurang berkenan mohon dimaafkan. Oh, ya tambahan, kalian bisa membaca buku ini di aplikasi Ipusnas. Akhirul kata aku ucapkan wassalamu'alaikum minna-san dan salam literasi ❤️.

Dadah ehehehe





Comments

  1. Untuk diksi yang digunakan sulit ga ya buku ini? Lagi ada tugas baca juga, penasaran tapi takut gak "mudeng"

    ReplyDelete
    Replies
    1. dibilang sulit juga nggak, dibilang mudah juga nggak wkwkwk. Imbang-imbanglah.

      Delete

Post a Comment

Komen aja, saya gak gigit kok :3

Yang Lagi Rame