[Busaku] Review Dengarlah Nyanyian Angin: Pada Akhirnya Hidup Terus Berlanjut
"Tidak ada kalimat yang sempurna. Sama seperti tidak ada keputusasaan yang sempurna." - hlm. 1
Dengan sebaris kalimat singkat ini, Haruki Murakami berhasil mencuri hatiku. Assalamu'alaikum minna-san, konnichiwa~ fyuuhh akhirnya aku bisa menulis lagi setelah sekian lama mager dan aur-auran hahaha. Kali ini aku ingin membahas satu buku yang mungkin sudah tidak asing lagi di mata para penikmat buku, terutama penikmat Japan Literature. Sebuah buku yang membuat seorang pemuda yang sebelumnya tidak pernah menulis sama sekali, memulai kiprahnya hingga sekarang dikenal sebagai seorang maestro yang selalu digadang-gadang akan mendapat nobel sastra. Dengarlah Nyanyian Angin, karya Haruki Murakami yang sukses menyihirku menjadi seseorang yang kecanduan menulis dan mencoba untuk menulis novel pertamaku (semoga saja terbit tahun depan, aamiin).
Source by Gramedia |
Judul: Dengarlah Nyanyian Angin
Penulis: Haruki Murakami
Penerjemah: Jonjon Johana
Penerbit: Kepustakaan Populer Gramedia
Tebal: 119 Halaman
Tahun Terbit: Januari 2022 (Cetakan Ketujuh)
ISBN : 978-602-424-407-1
Buku ini menceritakan tentang tokoh 'Aku', seorang mahasiswa jurusan biologi yang biasa-biasa yang terobsesi dengan seorang penulis Amerika tidak terkenal yang mati karena bunuh diri bernama Derek Heartfield. Cerita berkisar pada keseharian 'Aku' yang menghabiskan liburan musim panasnya di kampung halamannya. Di sinilah dia mulai bertemu dan berkenalan dengan beberapa orang seperti Nezumi, seorang anak orang tetapi membenci orang kaya itu sendiri, lalu ada seorang perempuan yang menjadi pacar 'Aku', yang bekerja di sebuah toko piringan hitam dan hanya memiliki sembilan jari.
Dengan premis yang singkat, namun menarik ini. Haruki Murakami berhasil menyihir tanganku untuk mengambil buku novel ini dan mengantarkannya ke kassa. Novel ini merupakan karya pertama Haruki Murakami yang kulahap setelah banyaknya pertimbangan, pertama karena aku merasa bosan dengan buku-buku puisi akhir ini, hal ini karena porsi buku puisi di Gramedia tempatku tinggal lebih sedikit kalau dibandingkan dengan buku genre lainnya, plus juga jarang update, jadi judul yang kulihat setiap kali ke sana cuman itu-itu saja. Yah, aku bisa memakluminya karena tidak semua orang mau mengeluarkan uang kisaran lima puluh hingga ratusan ribu hanya demi membaca puisi yang kadang untuk menginterpretasikan maknanya butuh usaha ekstra yang bikin mudeng (Yah walaupun saya adalah penganut ajaran puisi itu nggak harus dipahami atau dimengerti). Kedua karena halaman novel terbilang tipis, hanya 119 halaman saja. Menurutku novel ini sangat cocok untukku yang baru akhir-akhir ini mencoba menikmati buku novel dan doyan menumpuk buku tapi mageran buat membacanya hanya karena alasan simpel, "Bukunya terlalu tebal, malas ah" (Ya Allah berilah hambamu ini hidayah dan ketetapan hati untuk menghabiskan buku-buku yang sudah dibeli). Ketiga karena banyak dari kenalanku terutama yang berasal dari Discord, terutama dari server Hujan Kata merekomendasikan untuk membaca karya-karya dari Haruki Murakami, jadi aku pikir tidak ada salahnya kan untuk membeli buku ini?
First impression-ku terhadap buku ini adalah menarik plus unik. Aku pernah mendengar kalau sebuah tulisan yang baik adalah tulisan yang menghantam pembacanya dengan kalimat atau paragraf pertama yang pamungkas. Dan kalimat pembuka novel ini sukses membuatku untuk membuka lembar demi lembar halamannya, walaupun pada akhirnya seperti biasa, sisi slow reader dan mageranku menjadi lebih dominan daripada semangat 45-ku untuk mengkhatamkan buku ini. Butuh satu bulan setengah bagiku untuk menyelesaikan novel ini dan selama aku membacanya aku merasa buku ini lebih layak disebut jurnal pribadi daripada sebuah novel. Dari awal hingga akhir kita hanya disuguhkan bagaimana keseharian si "Aku", tidak ada hal yang istimewa dalam hidupnya, tidak ada konflik yang begitu wah dalam kisahnya, hanya mengisahkan seorang pemuda dengan segala kebosanan dan konflik batinnya selama di kampung halaman.
'Aku' adalah sosok yang gemar membaca buku, tapi hanya terbatas pada buku yang penulisnya telah wafat. Alasannya, karena dia merasa dapat memaafkan banyak hal dari seseorang yang sudah tidak bernyawa. Ia menyukai lagu juga sering nongki nggak jelas dan minum-minum di sebuah bar bersama sahabatnya Nezumi dan membicarakan banyak hal dan kemudia harinya sering ditutup dengan menyemir sepatu ayahnya.
Harus diakui bahwa Murakami sukses memperdaya diriku yang biasanya menilai sebuah buku dari plot ceritanya, kini terpesona dengan kemampuan Murakami mengulik kisah dan kedalaman setiap karakter yang muncul di dalam novel ini. Semuanya menurutku benar-benar terasa mulus, aku benar-benar menyelam, memahami, bersimpati dan berempati kepada setiap tokohnya. Walaupun novel ini minim konflik besar, namun konflik-konflik batin yang dituturkan Murakami kepada setiap tokohnya benar-benar berhasil menghidupkan cerita ini. Aku pernah membaca satu-dua ulasan, kalau karya pertamanya ini tidak sespektakuler dan seabsurd karya-karyanya setelahnya, bahkan ada yang bilang karya ini seperti pondasi menulis Murakami untuk memantapkan tulisannya di karya-karya setelahnya.
Walaupun menurutku penokohannya mantep banget, bahkan sangat detail dan realistis, novel ini bukanlah tanpa cela, tapi kalau ujar peribahasa tuh, "tak ada gading yang tak retak". Karena ceritanya yang mengisahkan keseharian tokoh si "Aku" kala berlibur di kampung halamannya dan tidak adanya konflik besar atau wah banget, sehingga ceritanya bisa dibilang berasa monoton aja, latarnya yang seputar kampung halamannya doang dan kurangnya kejutan atau twist-twist yang sakuga membuatku sering mandek dan ketiduran baca novel ini (bahkan lebih dari sekali, yah salahku juga bacanya seringnya tengah malam wkwk). Puncaknya sempat membuatku drop untuk membaca novel ini di halaman lima puluh selama dua minggu.
"People come and go", mungkin kata ini yang paling cocok untuk menggambarkan akhir dari kisah si 'Aku' dalam novel ini. Kupikir kisah penutup ini bakal membuat kalian yang membacanya kecewa, bersedih ataupun patah hati. Terutama kalau sudah mendekati lembaran-lembaran halaman terakhir, contohnya, aku saja sempat berkaca-kaca karena membaca bagian pembawa stasiun radio membacakan surat dari seorang perempuan yang hidupnya terkekang dalam rumah sakit. Ketika membaca kata demi kata yang tertuang di dalam suratnya, semakin aku menyadari bahwa sepertinya tidak ada yang salah dengan kehidupan yang biasa-biasa saja atau kalau kata lainnya hidup normal. Menjalani keseharian yang terus berulang, tidak ada yang spesial, hidup dengan baik hingga ajal menjemput. Walaupun dengan itu mungkin nama kita mungkin tidak tercatat dalam sejarah selayaknya seorang penulis, pelukis atau mungkin penemu (ilmuwan). Kita tidak pernah tahu mungkin ada orang di luar sana yang mendambakan kehidupan kita yang membosankan ini. Mungkin karena itu juga, Haruki Murakami tidak hanya menuliskan 'Aku' untuk menyebut tokoh utama dalam cerita ini, agar kita sebagai pembaca merasa relate dengan konflik batin si "Aku".
Seperti yang aku bilang di awal, novel ini lebih terasa seperti jurnal pribadi dibandingkan sebuah novel fiksi. isinya benar-benar terasa relate untuk aku atau mungkin kalian (yang akan membaca atau sudah membaca novel ini) kalau kehidupan kadang terasa monoton dan terus berulang, tiada hal istimewa seperti kekuatan superpower atau mungkin masalah besar layaknya sebuh film atau novel-novel fiksi yang sering kita jadikan pelarian dari lelah dan jenuhnya dunia.
Sebagai penutup, aku ingin mengucapkan terima kasih yang teramat banyak untuk penerjemah novel ini yaitu Jonjon Johana. Terjemahannya terasa begitu luwes dan nyaman untuk dibaca, bahkan kurasa terjemahan ini sukses membawakan elemen atau ciri khas tulisan dari Haruki Murakami (aku harap begitu, karena ku tidak pernah membaca versi Jepangnya). Juga aku mengucapkan terima kasih yang teramat banyak dengan 180Derajat Coffee karena sudah menjadi tempat yang nyaman untuk aku menuangkan tulisan ini. Akhirul kata, wassalamu'alaikum dan salam literasi.
Aku menyayangi kalian semua. - hlm. 111
Source by Mr. Bean Official Youtube |
Comments
Post a Comment
Komen aja, saya gak gigit kok :3