Review Joker: Folie à Deux - Sekuel Yang Sebenarnya OK-OK Sahaja
Catatan Awal: Assalamu'alaikum minna-san, konnichiwa! Sebagai catatan awal aku ingin memberitahukan kalau tulisan ini merupakan salah satu tulisanku yang ada di platform Medium, alasan aku mengunggahnya kembali di sini karena aku merasa tulisan ini masih lumayan cocok untuk konten yang ada di blog ini. Tulisan ini juga direvisi di beberapa bagian, jadi tidak akan sama persis dengan sumber awalnya. Nah, kalau kalian tertarik untuk membaca tulisan sekaligus mendukung platform Medium aku, kalian bisa mengunjunginya dengan meng-klik tautan berikut.
—
Joker: Folie à Deux. Sebuah film yang sedari awal penayangan trailer-nya berhasil membuatku sangat antusias ingin menyaksikannya secara langsung di bioskop. Bagaimana aku bisa nggak antusias, kalau film pertamanya saja sukses membuatku terkesima dengan plot cerita dan sinematografi yang ajib, juga tentunya ditambah dengan bumbu akting Joaquin Phoenix yang sukses menghipnotis setiap pasang mata di penayangan film pertamanya, membuatku benar-benar sangat menantikan penayangan film sekuel ini di sinema.
Namun, rasa antusiame yang berlebih ini seketika hancur berkeping-keping ketika filmnya sudah ditayangkan. Film ini dihujam banyak kritikan, mulai dari feel nonton film ini kayak nonton film kartun Disney karena banyaknya adegan musikal di film ini, hingga dianggap sebagai sekuel yang seharusnya tidak perlu dibuat apalagi untuk disaksikan bagi mereka yang sudah puas dengan film pertamanya.
Awalnya ketika aku membaca sebagian kritikan itu, aku sempat memutuskan untuk tidak menyaksikan filmnya secara langsung, ya bisa kalian pikirkan saja mahasiswa mana yang mau menghabiskan sebagian uang saku bulanannya hanya untuk sebuah film yang flop? Mungkin ada tapi untuk aku jelas bakal mikir-mikir lagi sih wkwk.
Tetapi semua keputusan itu perlahan memudar karena ajakan dari seorang temanku yang ingin tetap menonton filmnya walaupun sudah banyak dikritik oleh pencinta sineas di media sosial. Dari sanalah aku pun akhirnya mulai melunakkan pilihanku untuk tidak menyaksikan film ini. Dalam pikirku, bagaimana aku bisa mengetahui film ini beneran jelek dan tidak layak untuk ditonton kalau aku tidak merasakannya sendiri? Lagipula film itu kan perihal selera layaknya sebuah bacaan, jadi kurasa tidak ada salahnya untuk menurunkan ekspektasiku dan melupakan keindahan film pertamanya agar bisa menikmati sekuelnya yang katanya flop ini.
Bagi kalian yang belum pernah menonton film pertamanya, aku akan menceritakan sinopsis dan garis besar alur cerita di film pertamanya. Film ini menceritakan tentang seorang pria paruh baya bernama Arthur Fleck (Joaquin Phoenix) yang hidup bersama ibunya di kota Gotham. Arthur bekerja sebagai seorang badut penghibur yang kehidupannya bisa dibilang miris. Arthur menderita kelainan saraf berupa Pseudobulbar Affect (PBA), yaitu suatu kondisi yang menyebabkan dia sering tertawa pada waktu yang tidak tepat. Akibat dari kelainan ini membuat Arthur merasa dirinya terasingkan dari masyarakat Gotham yang kebanyakan tidak mengerti dengan keadaannya.
Dalam film pertama, kehidupan Arthur diterpa berbagai macam masalah dan kenyataan kehidupannya yang mulai terungkap, membuatnya perlahan tapi pasti membangkitkan kelainan jiwanya yang terpendam, skizofrenia. Kelainan ini pada awalnya merupakan cara Arhur untuk menghibur diri dari rasa isolasi sosial yang dia alami. Namun, lambat laun kelainan ini justru menggiringnya ke arah yang salah.
Nah, film kedua ini menceritakan dua tahun setelah seluruh kejadian yang terjadi di film pertama. Di mana Arthur mendekam di penjara menunggu persidangannya sembari sesekali mendapatkan perawatan dari psikolognya. Dalam kehidupannya monoton dan suram di penjara yang kejam tersebut. tanpa disengaja ia berkenalan dengan seorang perempuan penghuni rumah sakit jiwa tempat dia berkonsultasi, bernama Harleen Quinzel (Lady Gaga) atau yang lebih dikenal oleh kita para penonton sebagai Harley Quinn. Dan di sinilah awal semua kisah kegilaan Joker dimulai (lagi).
Jujur saja film ini menurutku lumayan enjoyable, menarik dan agak unik.
Film ini sukses membayar rasa antusiasku yang telah runtuh dan membuatku senyam-senyum gak jelas di beberapa adegan, bahkan yang paling parahnya aku hampir saja menangis karena film flop satu ini(kalau mengingatnya aku merasa lucu dan bodoh haha). Namun, di lain sisi film ini juga sukses membuatku menghela nafas sembari mengeluh dalam hati, "astagfirullah, nyanyi lagi?!". Sumpah, film ini sukses overdosis dengan adegan musikalnya, ibarat kalau resep dokter bilang minum obatnya dua kali sehari, maka film ini bakal meminum tujuh hingga sepuluh keping obat seharinya. Sebenarnya aku sudah mempersiapkan diri untuk tidak mempermasalahkan adegan musikalnya, karena sedari awal sutradara bilang kalau film ini bergenre musikal dan aku juga berpikir palingan cuma dua atau tiga kali doang kayaknya film-film para putri Disney. Eh, tahunya hampir setiap lima hingga sepuluh menit adegannya antara plot cerita yang suram dan musik-musik yang meriah silih berganti menusuk cinema experience-ku. Okelah pada awalnya aku masih bisa enjoy ketika Arthur mulai bernyanyi, karena ini juga merupakan representasi alam bawah sadar dari Arthur sendiri juga sebagai penegas kepada penonton kalau si Arthur ini emang orang halu (skizofrenia). Namun, lambat laun adegan nyanyi yang terus berulang dan muncul setiap menitnya mantap membuatku bosan dan sesekali memainkan ponselku hanya sekadar untuk membalas pesan WhatsApp atau melihat jam. Sebenarnya kurasa tidak masalah kalau memang ingin merepresentasikan isi pikiran Arthur yang tidak stabil dengan adegan musikal, tapi porsinya aku rasa harus cukup ditakar agar tidak terlalu overuse, apalagi film ini durasinya dua jam, aku yakin pasti bakal banyak sependapat dengan pendapatku ini, apalagi jadwal film ini di bioskop tayang pukul sepuluh malam, auto ketiduran itu mah denger Phoenix sama Lady Gaga gantian meninabobokan penonton bioskop, jk.
Kami keluar dari bioskop pukul 00.30-anWalaupun begitu seperti yang kubilang di awal, aku merendahkan ekspektasiku terhadap film ini dan mencoba untuk tetap fokus menonton film ini dari awal hingga akhir sembari memperhatikan dengan seksama, siapa tahu detail kecil.
Pada film ini menurutku karakter Joker tidak ditampilkan segila atua sekaos seperti di film pertama. Dalam film kedua ini menurutku seperti memiliki fokus lain dari sekadar cuman menampilkan sosok Joker mencintai kekacauan seperti yang diharapkan para penggemarnya. Film ini justru lebih berfokus dan mengeksplorasi pada ketidakstabilan mental tokoh Arthur Fleck, aku malah merasa kayak lebih ok kalau film ini diberi judul Arthur Fleck: Folie à Deux daripada Joker: Folie à Deux. Setidaknya kalau diberi judul seperti itu penonton gak bakal ngamuk dan merasa sia-sia ketika kelar menonton film ini haha.
Di film ini kita ditunjukkan betapa menderitanya sosok Arthur atas semua hal yang sudah terjadi. Dia menderita karena penyakit saraf dan mentalnya, karena penyakitnya dia merasa terkucilkan dan terasingkan, plus dunia (warga Gotham) tidak ada yang mencoba untuk mengerti bagaimana keadaannya, padahal jelas sejak film pertama hingga sekuelnya, Arthur sebenarnya hanya ingin dimengerti dan dikasihi, ia sangat ingin merasakan kehidupan yang damai layaknya orang normal, tanpa harus merasa cemas dan khawatir pandangan orang lain atas penyakit saraf yang dideritanya. Kalian mungkin sering mendengarnya jugakan? Orang-orang yang memiliki keterbatasan fisik ingin juga dihargai dan dipandang sebagai manusia yang setara dengan yang normal dan menurut opini pribadi, kurasa Arthur juga memiliki perasaan yang sama dari lubuk hatinya yang paling dalam. Karenanya ketika ada adegan dia ditanya oleh teman atau sipir penjara (aku lupa), "apakah dia takut dengan tuntutan hukuman mati?" atau "apakah dia takut dengan kematian?". Dia hanya dapat merespon dengan tertawa (akibat PBA) di bawah derasnya hujan (karena dihukum sipir penjara), adegan ini hampir membuatku meneteskan air mata.
Tidak kusangka film yang katanya flop ini dapat membuatku bersimpati dan berempati pada sosok Arthur Fleck yang sangat ingin merasakan kehidupan selayaknya orang normal. Perasaan ini semakin membuncah karena adanya sosok Harleen Quinzel (Harley Quinn) yang menurutku sukses menjadi sosok memperkuat perkembangan karakter dari Arthur Fleck. Harleen di sini digambarkan sebagai sosok yang akan melakukan segala cara hanya untuk memuaskan hasrat fanatisme terhadap sosok Joker. Kegilaan Harleen ini membuatku berpikir betapa ironisnya hidup Arthur. Ketika dia merasa menemukan pasangan hidup yang menurutnya mengerti sosok dia (Arthur), ternyata yang dia dapatkan hanyalah seorang perempuan yang rela bersetubuh di penjara bersamanya demi hasrat pribadinya, bangkitnya Sang Joker dari dalam Arthur. Sosok Harleen ini entah mengapa terasa seperti kita yang lebih menyukai karakter Joker yang lebih gila, berani dan tidak disangka-sangka daripada karakter Arthur yang monoton, depresif dan membosankan sampai-sampai melupakan kalau Arthur ini adalah orang sakit dan penyakitnya adalah sisi Joker ini.
Terlepas dari adegan musikalnya yang kebablasan dan kurasa mereka memang nekat membuat film psikologi berbalutkan musik yang meriah, aku juga merasa film ini secara tidak langsung memberikan tamparan halus kepada kita para penonton yang juga sama menyukai atau mungkin bahkan ada yang ditahap fanatik layaknya Harleen Quinzel sosok Joker yang kaos. Sutradara seakan mencoba memberitahu kita, "hei kalian! Cobalah untuk bersimpati dan berempati dengan Arthur, jangan cuman nonton karena suka Jokernya doang." Wkwk, anggap saja seperti itu. Tapi yah kurasa mereka lupa kalau pada akhirnya kebanyakan orang (termasuk saya dan teman saya) menonton film itu sebagai pelarian dari lelahnya dunia, bukan cuman sekadar menenggak amanat dan seni secara mentah-mentah.
Secara keseluruhan aku puas dengan film ini, yah dengan memaklumi segala kekurangannya tentunya haha. Memang tidak salah untuk tidak berekspektasi tinggi sebelum membaca dan menonton sesuatu. Temanku pun juga sependapat, walaupun dia lebih merasa kalau film ini sebaiknya memang tidak usah dibuat hahahahahaha.
Sebagai penutup untuk tulisan yang nggak terlalu penting ini, seperti biasa aku akan menutupnya dengan beberapa pertanyaan. Film ini banyak membuatku bertanya sepanjang filmnya. Sebagai contoh, apakah benar musik bisa mempengaruhi mental dari seseorang yang memiliki kelainan mental. Pertanyaan ini terus menghantuiku sepanjang film berlangsung sampai aku mencari beberapa jurnal ilmiah untuk memuaskan hasrat ingin tahuku (tulisan-tulisan di atas mengenai PBA dan Skizofrenia juga mengambil referensi jurnal ilmiah, yah aku takut saja kalau aku yang tak berkapabilitas ini harus menuliskan penjelasan sebuah penyakit saraf dan kelainan mental). Ada dua buah pertanyaan yang masih menginap di kepalaku hingga saat ini, yaitu:
Siapakah yang ingin bertemu dengan Arthur di akhir film? Hal ini diperlihatkan karena ending film ini yang sangat-sangat what the heck hahahaha. Aku tebak mungkin saja itu Harleen, ya kan? Kalau iya, apa mungkin ending ini sudah menjadi rencananya untuk menjadi setup untuk film ketiga?
Apakah film ini merupakan setup untuk film ketiga atau mungkin menjadi salah satu universe DC? Mengingat Harleen Quinzel menyatakan dia hamil anak dari Arthur Fleck dan Batman di universe ini juga masih umur belia. Apakah akan ada Joker baru yang akan menghadapi Batman di universe ini? Fyi, film ini berlatar di tahun 1983 karena diceritakan Arthur mendekam dipenjara selama dua tahun dan latar film pertama adalah 1981. Jadi aku merasa yakin kalau film ini akan benar-benar berlanjut ke film ketiga.
Daftar Referensi:
Kwon, M., Gang, M., & Oh, K. (2013, August). Effect of the Group Music Therapy on Brain Wave, Behavior, and Cognitive Function among Patients with Chronic Schizophrenia. Asian Nursing Research, 7, 168–174.
Apriliani, T. S., Fitriyah, E. T., & Kusyani, A. (2021, March). Pengaruh Terapi Musik Terhadap Perubahan Perilaku Penderita Halusinasi Pendengaran Pada Pasien Skizofrenia: Tinjauan Literatur. Jurnal Ilmiah Keperawatan (Scientific Journal of Nursing), 7(1), 61–69.
Novia, F., Sya'diah , R. H., & Puspito, M. C. (2023, November). Analisis Penyakit Mental Tokoh Utama Arthur Fleck dalam Film Joker. Metonimia: Jurnal Sastra dan Pendidikan Kesusastraan, 2(1), 149–156.
Pratiwi, A. E., & Koiri, M. (2022, June). Schizophrenia And Pseudobulbar Affect Disorder In The Film Script Joker. Language Literacy: Journal of Linguistics, Literature, and Language Teaching, 6(1), 189–199.
Comments
Post a Comment
Komen aja, saya gak gigit kok :3